PEMBELAJARAN DENGAN MEDIA POP UP BOOK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERCERITA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA KELAS IV SD MANDING TENGAH


Salah satu tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah menguasai keterampilan berbahasa. Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa dan juga merupakan sasaran dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Keterampilan berbicara dapat berkembang dengan baik apabila didukung oleh keterampilan berbahasa lainnya yaitu, menyimak, membaca dan menulis.
Permendikbud Nomor 37 Tahun 2018 dirumuskan Kompetensi Inti Bahasa Indonesia Kelas IV adalah memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, di sekolah dan tempat bermain. Rumusan Kompetensi Inti dan kompetensi dasar pada keterampilan berbicara diharapkan bisa mewadahi siswa dalam mengembangkan keterampilan berbicara. Guru dituntut untuk lebih kreatif dalam memberikan pengalaman belajar bagi siswa sehingga pembelajaran berbicara tercipta kebermaknaan. Pembelajaran yang bermakna ini sangat penting karena memberikan landasan pengetahuan yang kuat pada siswa. Siswa yang diberikan pengalaman belajar yang baik akan mempunyai fondasi ilmu yang baik pula untuk meneruskan kejenjang lebih lanjut.
Kegiatan berbicara dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial untuk melakukan komunikasi dengan orang lain. Kegiatan bercerita merupakan bagian dari kemampuan berbicara. Bercerita merupakan salah satu kebiasaaan masyarakat sejak dahulu sampai sekarang. Pada umumnya manusia senang melakukan bercerita, dari usia anak-anak sampai dewasa. Bercerita dapat dipahami sebagai suatu tuturan yang memaparkan/menjelaskan bagaimana terjadinya suatu hal, peristiwa, dan kejadian, baik yang dialami sendiri maupun orang lain. Seseorang dapat bertukar pengalaman, perasaan, informasi dan keinginan melalui kegiatan bercerita. Dengan demikian, kegiatan berbicara khususnya bercerita dapat membangun hubungan mental, emosional antara individu dengan individu lain.
Kegiatan bercerita memiliki beberapa manfaat bagi siswa yaitu dapat memperkaya kosakata, memperbaiki kalimat serta melatih keberanian siswa dalam berkomunikasi. Pelaksanaan bercerita harus menguasai bahan atau ide cerita, penguasaan bahasa, pemilihan bahasa, keberanian, ketenangan, kesanggupan menyampaikan ide dengan lancar dan teratur sehingga mampu dan terampil dalam bercerita. Keterampilan bercerita siswa tidak hanya diperoleh begitu saja, tetapi harus dipelajari dan dilatih.
Bercerita merupakan sarana komunikasi linguistik yang kuat dan menghibur memberikan pengalaman kepada siswa untuk mengenal ritme, intonasi dan pengimajinasian serta nuansa bahasa (Abbas, 2006: 91-92). Bercerita melatih keberanian siswa dalam siswa dalam berbicara di depan umum. Melalui bercerita, siswa dilatih untuk mengungkapakan kalimat yang benar dengan menggunakan kosa kata dan intonasi yang tepat. Salah satu alternatif pembelajaran yang bisa dilakukan antara lain, siswa diminta bercerita di depan kelas.
Bercerita dengan cara menggunakan suatu peristiwa atau kejadian dengan melibatkan beberapa tokoh di dalamnya. Pembelajaran ini digunakan sebagai upaya untuk mengembangkan bahasa, pengalaman dan fantasi serta menanamkan berbagai karakter yang baik terhadap anak. Bercerita  mempunyai banyak kelebihan.
Keterampilan bercerita bisa ditumbuhkan melalui kelompok-kelompok kecil dalam kelas. Dalam kelompok tersebut, mereka harus bekerja sama untuk mendapatkan nilai yang terbaik. Siswa yang memiliki kemampuan lebih dalam bercerita akan memotivasi siswa lain yang kurang terampil berbicara di depan kelas. Bercerita juga akan melatih kemampuan anak, artinya ketika bercerita anak belajar berbicara dalam gaya yang menyenangkan serta menambah perbendaharaan kata dan bahasanya.
Bercerita merupakan sebuah keterampilan. Keterampilan akan didapat apabila seseorang selalu melakukan praktek ataupun latihan. Begitu pula halnya dengan keterampilan bercerita siswa memerlukan sebuah latihan dan praktek agar berkembang dengan baik. Tanpa adanya latihan dan praktek maka keterampilan bercerita tidak akan dikuasai dengan baik. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh kaum Behavioristik, bahwa “perkembangan kematangan berbahasa tergantung pada frekuensi atau lamanya latihan” (Iskandarwarsid & Sunendar, 2010: 50).
Proses belajar tersebut banyak ditentukan oleh proses peniruan, pengulangan, dan penguatan. Belajar harus melalui tahapan-tahapan tertentu, sedikut demi sedikit, yang mudah mendahului yang sulit. Menurut Thorndike (dalam Djuanda, 2006: 8) kaidah latihan, berisi anggapan bahwa semakin sering dan lama suatu latihan diberikan akan semakin tinggi pengalaman dan bentuk keterampilan yang diperoleh. Seperti halnya dalam keterampilan dan bentuk keterampilan yang diperoleh. Seperti halnya dalam keterampilan bercerita, siswa akan mahir atau cakap dalam bercerita jika siswa sering melakukan latihan sehingga akan semakin tinggi bentuk keterampilan yang didapat.
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada keterampilan bercerita banyak dikenalkan kepada siswa SD hanya melalui teori-teori saja dan hanya sedikit prakteknya. Pembelajaran juga belum menggunakan metode maupun media yang tepat, sehingga belum dapat mewadahi tumbuhnya keterampilan bercerita. Akibatnya siswa belum mempunyai bekal yang baik dalam keterampilan bercerita. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan siswa kurang berminat terhadap pembelajaran bercerita.
Berdasarkan hasil pengamatan proses pembelajaran bercerita yang dilaksanakan di SD Manding Tengah selama ini masih belum bermakna. Dampak dari pembelajaran yang belum bermakna ini dapat ditunjukkan dengan kurang berminatnya siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran bercerita yang dilakukan masih menggunakan metode konvensional. Guru belum pernah menggunakan media yang inovatif.
Pembelajaran keterampilan bercerita yang dilakukan guru dapat dikatakan masih sederhana karena kurang bisa menumbuhkan keterampilan bercerita pada siswa. Belum digunakannya media atau metode lain yang bisa menstimulasi siswa. Akibatnya siswa kurang tertarik pada proses pembelajaran bercerita. Hal tersebut akan menimbulkan kejenuhan serta kebosanan dalam diri siswa karena pembelajaran lebih banyak didominasi guru tanpa melibatkan siswa secara aktif.
Adanya permasalahan mengenai keterampilan bercerita seperti yang diuraikan di atas maka berdampak pada hasil belajar siswa.  Hasil belajar keterampilan bercerita siswa kelas IV SD Manding Tengah tahun pelajaran 2018/2019 yang didapat masih jauh dibawah kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh sekolah. Hasil belajar keterampilan bercerita siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas IV SD Manding Tengah pada semester I tahun Pelajaran 2018/2019 dapat dilihat dalam lampiran.
Permasalahan lainnya adalah guru masih belum maksimal dalam memberikan pembelajaran khususnya keterampilan bercerita. Jumlah materi yang diberikan pada aspek keterampilan bercerita lebih sedikit daripada aspek keterampilan berbahasa yang lain, sehingga keterampilan bercerita agak dikesampingkan oleh guru.
Berdasarkan kurangnya perhatian guru terhadap keterampilan berbicara serta belum optimalnya keterampilan berbicara siswa, maka guru perlu melakukan perubahan dalam mengajar. Guru hendaknya lebih kreatif dan inovatif dalam penggunaan metode maupun media pembelajaran berbicara khususnya bercerita. Dengan demikian siswa akan mempunyai pengalaman belajar yang bermakna.
Melihat fenomena permasalahan di atas, kiranya perlu dilakukan terobosan baru dalam pembelajaran keterampilan berbicara khususnya bercerita. Pembelajaran bahasa hendaknya dilaksanakan dengan efektif sehingga dapat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar siswa. Bercerita merupakan salah satu pembelajaran bahasa yang perlu dilakukan secara efektif. Menghadirkan media dalam pembelajaran sangat diperlukan untuk membantu siswa dalam belajar.
Salah satu cara untuk membantu guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran adalah dengan penggunaan media pembelajaran. Media pembelajaran menurut Aqib (2013: 50) adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan merangsang terjadinya proses belajar pada si pembelajar (siswa). Media digunakan untuk membantu terciptanya pembelajaran yang baik.
Media pembelajaran keterampilan bercerita salah satunya adalah dengan menggunakan Pop Up Book. Pop Up Book menurut Taylor dan Bluemel (2003: vol. 22) adalah “mechanical, movable books, [that] unfold and rise from the page to our surprice and delight. ” Menurut Taylor dan Bluemel Pop Up Book adalah konstruksi, pergerakan buku yang muncul dari halaman yang membuat kita terkejut dan menyenangkan. Pop Up Book identik dengan anak-anak dan mainan, namun benda ini dapat digunakan menjadi media pembelajaran yang baik. Media ini berisi cerita bergambar yang memiliki bentuk tiga dimensi ketika halaman buku dibuka. Penggunaan media ini dalam pembelajaran dapat digunakan pada bidang kebahasaan yaitu peningkatan keterampilan-keterampilan dasar berbahasa.
Kelebihan dari media Pop Up Book adalah memberikan pengalaman khusus pada pembaca karena melibatkan pembaca dalam cerita tersebut seperti menggeser, membuka, dan melipat bagian Pop Up Book. Hal ini akan membuat kesan tersendiri kepada pembaca sehingga akan lebih mudah masuk kedalam ingatan ketika menggunakan media ini.
“Adding movement conributes yet another way for readers and non-readers to learn and enjoy. Hands-on and kinetic, movable and pop-up books combine hands and eyes, action and reaction, discovery and wonder”  (Van Dyk, 2010: 5). Dengan lebih banyak kegiatan menarik dan memacu daya ingat diharapkan dapat dijadikan bahan dan inovasi siswa dalam berbicara, khususnya mengenai suatu cerita yang telah disampaikan oleh seseorang.
Kegiatan bercerita dalam proses pembelajaran yang dianjurkan oleh Depdiknas (1990: 19) diklasifikasikan menjadi lima. Kelima kegiatan bercerita tersebut adalah bercerita tanpa alat bantu, bercerita mengunakan alat, bercerita dengan gambar, bercerita menggunakan papan flanel, membacakan cerita. Bercerita dengan gambar dapat dilakukan dengan media gambar untuk menggambarkan ceritanya. Gambar yang digunakan oleh pencerita bisa berbentuk dua dimensi maupun tiga dimensi. Jenis gambar tersebut diantaranya gambar bersusun, kumpulan gambar-gambar, dan gambar-gambar yang bisa muncul dan keluar seperti gambar nyata atau biasa disebut dengan Pop Up Book.
Nurgiyantoro (2010: 401-411) mengemukakan bahwa ada banyak teknik yang dapat diberikan kepada peserta didik dalam kemampuan berbicara bahasa target antara lain: berbicara berdasarkan gambar, berbicara berdasarkan rangsangan suara, berbicara berdasarkan rangsang visual dan suara, bercerita, dan wawancara. Berbicara berdasarkan gambar dapat dijadikan rangsangan pembicara yang baik. Rangsangan yang berupa gambar sangat baik untuk dipergunakan anak-anak usia sekolah dasar. Nurgiyantoro (2010: 402) menambahkan bahwa rangsangan gambar yang dapat dipakai sebagai rangsangan berbicara dikelompokkan ke dalam gambar objek dan gambar bercerita. Gambar objek adalah gamar yang masing-masing memiliki nama satu kata dan merupakan gambar-gambar lepas yang antara satu dengan yang lain kurang ada kaitannya. Sedangkan gambar cerita merupakan rangkaian gambar yang membentuk sebuah cerita. Gambar bercerita ini seperti buku gambar tanpa kata atau pop up book yaitu buku-buku gambar cerita yang alur ceritanya disajikan lewat gambar-gambar, atau gambar-gambar itu sendiri menghadirkan cerita.
Media pop up book dipilih untuk pelaksanan proses pembelajaran keterampilan bercerita karena media tersebut sangat menarik. Pembelajaran tersebut memudahkan siswa untuk bercerita karena distimulus oleh media pop up book. Siswa lebih percaya diri karena cerita ditampilkan secara berkelompok sehingga siswa yang sulit bercerita akan termotivasi oleh penampilan siswa lain yang pandai bercerita.
Pemilihan media pop up book untuk meningkatkan keterampilan bercerita karena media ini merupakan media yang efektif untuk pengajaran dalam mengembangkan perbendaharaan kata, melatih diri untuk mendengarkan dan berbicara.
Mardiah (2017: 78) mengemukakan bahwa media pop up book memiliki kelebihan-kelebihan seperti (1) dapat mengatasi batasan ruang, waktu, dan pengamatan karena tidak semua benda, objek atau peristiwa dapat dibawa ke dalam kelas. (2) bersifat konkret, yaitu lebih realistis dibandingkan media verbal, (3) dapat menjadi sumber belajar untuk semua usia, (4) memiliki ruang-ruang dimensi dimana buku ini bisa berbentuk struktur 3 dimensi sehingga menarik untuk dibaca.
Bluemel dan Taylor (2003: 22) menambahkan bahwa pop up book adalah buku yang pergerakannya muncul dari halaman yang dibuka dan memberikan efek terkejut serta menyenangkan.  Bluemel dan Taylor (2012: 5) mendefinisikan buku pop up adalah “Pop up book is a book that offers the potential for motion and interaction through the use of paper mechanisme such as folds, slides, tabs or wheels”. Menurutnya, buku pop up memiliki sifat yang komunikatif interaktif, menarik, dan informatif sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh sasaran.
Penelitian dengan menggunakan pop up book sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Namun sebagian besar dari penelitian tersebut adalah mengembangkan medianya. Selain itu para penelita yang menggunanak media pop up book untuk meningkatkan suatu hasil belajar bukan mata pelajaran bahasa Indonesia.
Melihat berbagai permasalahan tentang keterampilan bercerita siswa kelas 4 SD Manding Tengah, maka guru perlu melakukan terobosan dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran dengan media Pop Up Book merupakan salah satu alternatif meningkatkan  keterampilan bercerita. Penelitian dengan media pop up book untuk meningkatkan keterampilan bercerita siswa juga belum pernah dilakukan di SD Manding Tengah. Keterampilan bercerita yang rendah memberikan dampah terhadap rendahnya hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan suasana pembelajaran yang monoton, membosankan dan kurang bermakna. Untuk meningkatkan keterampilan bercerita siswa, maka perlu dilakukan tindakan pembelajaran dengan menggunakan media pop up book pada keterampilan bercerita.



1.      Langkah-langkah Pembelajaran Bercerita dengan Media Pop Up Book
Pembelajaran keterampilan bercerita dengan media Pop Up Book dapat memberikan pengalaman belajar yang menyengkan. Di samping hal tersebut media Pop Up Book efektif untuk mengembangkan keterampilan bercerita anak. Oleh karena itu dalam mengemas pembelajaran hendaknya guru mempersiapkan terlebih dahulu skenario ataupun langkah-langhkah pembelajaran. Dengan menyiapkan langkah-langkah pembelajaran maka akan lebih bermakna dan dapat menumbuhkan keterampilan bercerita pada siswa.
Petunjuk atau langkah-langkah penggunaan media Pop Up Book menurut Sadiman dalam Fitri (2018: 45) terdapat tiga tahapan, yaitu persiapan sebelum menggunakan media Pop Up Book, kegiatan selama menggunakan media Pop Up Book, dan kegiatan tindak lanjut. Adapun ketiga tahapan dalam penggunan media Pop Up Book akan diuraikan dibawah ini.
a)      Persiapan sebelum menggunakan media Pop Up Book
Tahap ini perlu adanya persiapan yang perlu dilakukan yang menunjang penggunaan media berjalan dengan lancar yaitu mempelajari petunjuk tata cara menggunakan media Pop Up Book, perlu mempersiapkan peralatan media yang akan digunakan dalam kegiatan proses belajar. Aadapun kegiatannya adalah sebagai berikut.
1)      Guru mempersiapkan peralatan dan media Pop Up Book yang akan digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar khususnya pada keterampilan bercerita.
2)      Guru mempelajari tata cara penggunaan media Pop Up Book sehingga guru mampu menjelaskan terhadap siswa tata cara menggunakan media Pop Up Book
b)      Kegiatan selama menggunakan media Pop Up Book
Tahap ini perlu adanya ruangan yang nyaman dan tenang, sehingga dalam proses kegiatan belajar siswa tidak mengalami gangguan yang dapat mengganggu perhatian dan konsentrasinya. Adapun langkah-langkah penggunaan media Pop Up Book dalam pembelajaran keterampilan bercerita pada tahap ini adala sebagai berikut.
1)      Guru mempersiapkan ruangan yang nyaman untuk proses kegiatan belajar mengajar.
2)      Guru menjelaskan tentang tujuan belajar, yaitu siswa dapat menceritakan berdasarkan Pop Up Book
3)      Siswa diminta menyimak dan memperhatikan petunjuk dan perintah guru, sehingga siswa dapat memahami materi
4)      Guru menjelaskan cara menggunakan media Pop Up Book
5)      Guru membuka media Pop Up Book dan menunjukkan gambar-gambar yang mewakili sebuah cerita.
6)      Guru memperkenalkan siswa gambar-gambar yang terdapat pada media Pop Up Book.
7)      Siswa diminta mengamati gambar-gambar dan cerita dari guru.
c)      Kegiatan tindak lanjut
Tahap ini digunakan untuk menjajagi apakah tujuan telah tercapai, dan memantapkan pemahaman terhadap materi yang telah disampaikan melalui media Pop Up Book dan memberikan evaluasi terhadap hasil belajar. Adapun kegiatan tindak lanjut langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.
1)      Guru memberikan pengayakan terhadap siswa tentang materi pembelajaran yang telah diberikan sebelumnya.
2)      Guru mengulang kembali pembelajaran tentang keterampilan bercerita.
Langkah-langkah di atas merupakan penggunaan media dalam pembelajaran yang dikemukakan oleh Sadiman. Pada penelitian ini langkah-langkah yang digunakan merupakan modifikasi dari langkah-langkah Sandiman dan Peneliti. Berikut langkah-langkah yang telah dimodifikasi peneliti untuk pembelajaran menggunakan media Pop Up Book pada keterampilan bercerita.
a)      Tahap persiapan
1)      Guru membentuk kelompok-kelompok kecil dalam kelas yang terdiri atas 5-6 siswa,
2)      Guru meminta siswa duduk berkelompok dengan posisi duduk melingkar,
3)      Guru memberikan buku Pop Up Book kepada masing-masing kelompok,
4)      Guru memberikan arahan jalannya pembelajaran
b)      Tahap pelaksanaan
1)      Guru membacakan judul buku Pop Up Book kepada siswa
2)      Guru meminta siswa untuk membacakan tujuan pembelajaran
3)      Siswa mengamati materi yang terdapat di dalam Pop Up Book berdasarkan perintah guru
4)      Guru mengoreksi ujaran siswa dengan baik dan benar
c)      Tahap penyelesaian
1)      Siswa dalam kelompok kecil melakukan latihan bercerita berdasarkan gambar-gambar Pop Up yang ada dibuku.
2)      Siwa secara bergantian dihadapan teman sekelompoknya melakukan bercerita sesuai bagiannya pada bacaan Pop Up,
3)      Guru memberikan skor kepada masing-masing kelompok.
Tahapan-tahapan bercerita dengan media Pop Up Book di atas merupakan tahapan modifikasi menurut ahli dan peneliti yang disesuaikan dengan kondisi dan karakter siswa kelas IV SD Manding Tengah. Tahapan bercerita dengan media Pop Up Book tersebut yang digunakan pelaksanaan pembelajaran.
2.      Teori Belajar yang Melandasi Penggunaan Media Pop Up Book
Sebelum merancang pembelajaran, seorang guru harus menguasai sejumlah teori atau filsafat tentang belajar, termasuk beberapa pendekatan dalam pembelajaran. Penguasaan teori itu dimaksudkan agar guru mampu mempertanggungjawabkan secara ilmiah perilaku mengajarnya di depan kelas.
Pemahaman mengenai teori belajar sebagai landasan dalam proses pemanfaatan media pembelajaran pada mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui. Teori belajar merupakan landasan pokok dalam menyusun desain, dengan memanfaatkan media, dan melaksanakan pembelajaran. Dengan memahami beberapa teori belajar, maka teori tersebut dapat dimanfaatkan untuk mensistemasikan penemuan-penemuan, memprediksi, malahirkan hipotesis-hipotesis dan dapat memberikan penjelasan sesuai dengan yang dibutuhkan.
Menurut Schunk (2007: 57), behaviorisme adalah suatu pandangan mengenai perilaku belajar yang intinya menekankan pada peniruan model. Titik pusat kegiatannya yaitu pada proses pemantapan latihan untuk membentuk kebiasaan.
Menurut pandangan kaum behavioris bahwa suatu kebiasaan terbentuk manakala suatu jawaban (response) terhadap ransangan (stimulus) secara konsisten diberikan penghargaan (reward) (Schunk, 2007 : 57). Dengan kata lain, suatu perilaku akan muncul apabila didahului oleh stimulus, dan dapat diperkuat, dibiasakan, dengan memberi penguatan (reinforcement). Dengan demikian, teori behavioristik secara prosedur meliputi tiga tahap, yaitu stimulus, response, dan reinforcement, yang dalam psikologi behaviorisme disebut pembiasaan yang membuahkan hasil (operant conditioning).
Menurut Iskandarwarsid & Sunendar (2010: 47), dalam teori behaviorisme proses belajar sangat bergantung kepada faktor yang berada diluar dirinyan, sehingga ia memerlukan stimulus dari pengajarnya. Masih menurut teori behaviourisme bahwa hasil belajar banyak ditentukan oleh proses peniruan, pengulangan, dan penguatan (reinforcement). Belajar harus melalui tahap-tahap tertentu, sedikit demi sedikit, yang mudah mendahului yang sulit.
Behaviourisme yang dikembangkan oleh Pavlov berangkat dari pemahaman bahwa stimulus yang dapat dilihat juga dapat menyebabkan adanya respons yang dapat dilihat (Djuanda, 2006: 7).  Stimulus yang bermakna dapat menghasilkan respons yang bermakna pula. Untuk memperoleh respons yang bermakna diperlukan kondisi tertentu. Pemberian kondisi tersebut perlu memperhitungkan kesesuaian antara stimulus dengan gambaran pembiasaan yang dihasilkan, stimulus lain yang ikut memberntuk karakteristik responsi, dan frekuensi pemberian stimulus yang diberikan.
Berdasarkan landasan teori tersebut, Skinner (dalam Schunk 2007 : 58) menyimpulkan bahwa tugas para pembelajar harus diatur sedemikian rupa sehingga mereka memiliki peluang yang besar untuk memberi respons yang benar.  Oleh karena itu, fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sangat tepat untuk memaknai adanya stimulus dan respons dalam berbahasa.
Hal senada diungkapkan oleh Iskandarwarssid & Sunendar (2010: 240) bahwa strategi pembelajaran berbicara merujuk pada prinsip stimulus-respon. Selama kedua variabel ini dikuasai oleh pembicara, maka ia dapat dikategorikan memiliki kemampuan berbicara. Perkembangan pembelajaran berbicara masih mempertahankan pola stimulus-respons meskipun dengan modifikasi model yang variatif.
Dengan demikian, belajar melibatkan terbentuknya hubungan-hubungan tertentu antara stimulus dan respons. Stimulus merupakan penyebab belajar, agen-agen lingkungan yang bertindak terhadap suatu organisme, yang menyebabkan organisme itu memberikan respons tertentu. Sementara itu, respons merupakan akibat atau efek yang merupakan reaksi-reaksi fisik suatu organisme terhadap stimulus, baik stimulus eksternal maupun stimulus internal.
Keterampilan bercerita merupakan bagian dari pembelajaran berbahasa. Dengan menggunakan landasan teori behaviouristik tugas para pembelajar harus diatur sedemikian rupa sehingga mereka memiliki peluang yang besar untuk memberi respons yang benar. Dengan memberikan stimulus pembelajaran yang menarik khususnya dalam keterampilan bercerita maka siswa akan merespon materi tersebut dengan baik.
Sebagai seorang guru yang profesional hendaknya kita mempersiapkan dan mengemas  pelajaran tersebut sedemikian rupa sehingga siswa akan menangkap materi tersebut dengan mudah dan ada perasaan senang dalam belajar. Salah satu cara menstimulus siswa dalam pembelajaran keterampilan bercerita adalah dengan menggunakan media Pop Up Book. Penggunaan media Pop Up Book ini akan memberikan stimulus pengalaman belajar yang menyenangkan dan efektif dalam mengembangkan keterampilan bercerita bagi anak usia sekolah dasar.
Pembelajaran tersebut dikatakan efektif karena dengan pemberian stimulus berupa media Pop Up Book akan tercipta suatu pembelajaran dengan suasana belajar yang kondusif dan komunikatif. Dengan demikian akan cepat direspon oleh siswa sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dan mampu mencapai tujuan dalam proses belajar mengajar tersebut. Keterampilan bercerita dengan menggunakan Pop Up Book memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk berbagai gagasan dan cerita lewat percakapan, disertai dengan mengembangkan imajinasi siswa melalui gambar-gambar tiga dimensi yang ada pada Pop Up Book.
Media Pop Up Book merupakan stimulus yang efektif untuk pengajaran dalam mengembangkan perbendaharaan kata, melatih diri untuk mendengarkan dan bercerita.  Media tersebut akan merespon anak dengan lebih perhatian terhadap isi cerita. Dengan penggunaan media tersebut, pesan akan menarik perhatian siswa. Dengan demikian, Pop Up Book merupakan bagian dari media pembelajaran bahasa yang salah satunya bermanfaat sebagai sarana atau alat bantu peningkatan keterampilan bercerita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BACAAN CERITA SEDERHANA MEMUDAHKAN ANAK BELAJAR MEMBACA