PEMBELAJARAN DENGAN MEDIA POP UP BOOK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERCERITA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA KELAS IV SD MANDING TENGAH
Salah satu tujuan pembelajaran bahasa
Indonesia adalah menguasai keterampilan berbahasa. Berbicara merupakan salah
satu aspek keterampilan berbahasa dan juga merupakan sasaran dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia. Keterampilan berbicara dapat berkembang dengan baik apabila
didukung oleh keterampilan berbahasa lainnya yaitu, menyimak, membaca dan
menulis.
Permendikbud Nomor 37 Tahun 2018 dirumuskan Kompetensi
Inti Bahasa Indonesia Kelas IV adalah memahami
pengetahuan faktual dengan cara mengamati
dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan
dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, di sekolah dan
tempat bermain. Rumusan Kompetensi Inti dan kompetensi
dasar pada keterampilan berbicara diharapkan bisa mewadahi siswa dalam
mengembangkan keterampilan berbicara. Guru dituntut untuk lebih kreatif dalam
memberikan pengalaman belajar bagi siswa sehingga pembelajaran berbicara
tercipta kebermaknaan. Pembelajaran yang bermakna ini sangat penting karena
memberikan landasan pengetahuan yang kuat pada siswa. Siswa yang diberikan
pengalaman belajar yang baik akan mempunyai fondasi ilmu yang baik pula untuk
meneruskan kejenjang lebih lanjut.
Kegiatan berbicara dalam kehidupan sehari-hari
merupakan suatu kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial untuk melakukan
komunikasi dengan orang lain. Kegiatan bercerita merupakan bagian dari
kemampuan berbicara. Bercerita merupakan salah satu kebiasaaan masyarakat sejak
dahulu sampai sekarang. Pada umumnya manusia senang melakukan bercerita, dari
usia anak-anak sampai dewasa. Bercerita dapat dipahami sebagai suatu tuturan
yang memaparkan/menjelaskan bagaimana terjadinya suatu hal, peristiwa, dan
kejadian, baik yang dialami sendiri maupun orang lain. Seseorang dapat bertukar
pengalaman, perasaan, informasi dan keinginan melalui kegiatan bercerita.
Dengan demikian, kegiatan berbicara khususnya bercerita dapat membangun
hubungan mental, emosional antara individu dengan individu lain.
Kegiatan bercerita memiliki beberapa manfaat
bagi siswa yaitu dapat memperkaya kosakata, memperbaiki kalimat serta melatih
keberanian siswa dalam berkomunikasi. Pelaksanaan bercerita harus menguasai
bahan atau ide cerita, penguasaan bahasa, pemilihan bahasa, keberanian, ketenangan,
kesanggupan menyampaikan ide dengan lancar dan teratur sehingga mampu dan
terampil dalam bercerita. Keterampilan bercerita siswa tidak hanya diperoleh
begitu saja, tetapi harus dipelajari dan dilatih.
Bercerita merupakan sarana komunikasi
linguistik yang kuat dan menghibur memberikan pengalaman kepada siswa untuk
mengenal ritme, intonasi dan pengimajinasian serta nuansa bahasa (Abbas, 2006:
91-92). Bercerita melatih keberanian siswa dalam siswa dalam berbicara di depan
umum. Melalui bercerita, siswa dilatih untuk mengungkapakan kalimat yang benar
dengan menggunakan kosa kata dan intonasi yang tepat. Salah satu alternatif
pembelajaran yang bisa dilakukan antara lain, siswa diminta bercerita di depan
kelas.
Bercerita dengan cara menggunakan suatu peristiwa
atau kejadian dengan melibatkan beberapa tokoh di dalamnya. Pembelajaran ini
digunakan sebagai upaya untuk mengembangkan bahasa, pengalaman dan fantasi
serta menanamkan berbagai karakter yang baik terhadap anak. Bercerita mempunyai banyak kelebihan.
Keterampilan bercerita bisa ditumbuhkan
melalui kelompok-kelompok kecil dalam kelas. Dalam kelompok tersebut, mereka
harus bekerja sama untuk mendapatkan nilai yang terbaik. Siswa yang memiliki
kemampuan lebih dalam bercerita akan memotivasi siswa lain yang kurang terampil
berbicara di depan kelas. Bercerita juga akan melatih kemampuan anak, artinya
ketika bercerita anak belajar berbicara dalam gaya yang menyenangkan serta
menambah perbendaharaan kata dan bahasanya.
Bercerita merupakan sebuah keterampilan.
Keterampilan akan didapat apabila seseorang selalu melakukan praktek ataupun
latihan. Begitu pula halnya dengan keterampilan bercerita siswa memerlukan
sebuah latihan dan praktek agar berkembang dengan baik. Tanpa adanya latihan
dan praktek maka keterampilan bercerita tidak akan dikuasai dengan baik. Hal
tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh kaum Behavioristik, bahwa
“perkembangan kematangan berbahasa tergantung pada frekuensi atau lamanya
latihan” (Iskandarwarsid & Sunendar, 2010: 50).
Proses belajar tersebut banyak ditentukan
oleh proses peniruan, pengulangan, dan penguatan. Belajar harus melalui
tahapan-tahapan tertentu, sedikut demi sedikit, yang mudah mendahului yang
sulit. Menurut Thorndike (dalam Djuanda, 2006: 8) kaidah latihan, berisi anggapan
bahwa semakin sering dan lama suatu latihan diberikan akan semakin tinggi
pengalaman dan bentuk keterampilan yang diperoleh. Seperti halnya dalam
keterampilan dan bentuk keterampilan yang diperoleh. Seperti halnya dalam
keterampilan bercerita, siswa akan mahir atau cakap dalam bercerita jika siswa
sering melakukan latihan sehingga akan semakin tinggi bentuk keterampilan yang
didapat.
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru
pada keterampilan bercerita banyak dikenalkan kepada siswa SD hanya melalui teori-teori
saja dan hanya sedikit prakteknya. Pembelajaran juga belum menggunakan metode
maupun media yang tepat, sehingga belum dapat mewadahi tumbuhnya keterampilan
bercerita. Akibatnya siswa belum mempunyai bekal yang baik dalam keterampilan
bercerita. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan siswa kurang berminat terhadap
pembelajaran bercerita.
Berdasarkan hasil pengamatan proses
pembelajaran bercerita yang dilaksanakan di SD Manding Tengah selama ini masih belum
bermakna. Dampak dari pembelajaran yang belum bermakna ini dapat ditunjukkan
dengan kurang berminatnya siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran bercerita yang
dilakukan masih menggunakan metode konvensional. Guru belum pernah menggunakan
media yang inovatif.
Pembelajaran keterampilan bercerita yang
dilakukan guru dapat dikatakan masih sederhana karena kurang bisa menumbuhkan
keterampilan bercerita pada siswa. Belum digunakannya media atau metode lain
yang bisa menstimulasi siswa. Akibatnya siswa kurang tertarik pada proses
pembelajaran bercerita. Hal tersebut akan menimbulkan kejenuhan serta kebosanan
dalam diri siswa karena pembelajaran lebih banyak didominasi guru tanpa
melibatkan siswa secara aktif.
Adanya permasalahan mengenai keterampilan
bercerita seperti yang diuraikan di atas maka berdampak pada hasil belajar
siswa. Hasil belajar keterampilan
bercerita siswa kelas IV SD Manding Tengah tahun pelajaran 2018/2019 yang
didapat masih jauh dibawah kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh
sekolah. Hasil belajar keterampilan bercerita siswa pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia kelas IV SD Manding Tengah pada semester I tahun Pelajaran 2018/2019
dapat dilihat dalam lampiran.
Permasalahan lainnya adalah guru masih belum
maksimal dalam memberikan pembelajaran khususnya keterampilan bercerita. Jumlah
materi yang diberikan pada aspek keterampilan bercerita lebih sedikit daripada
aspek keterampilan berbahasa yang lain, sehingga keterampilan bercerita agak
dikesampingkan oleh guru.
Berdasarkan kurangnya perhatian guru terhadap
keterampilan berbicara serta belum optimalnya keterampilan berbicara siswa,
maka guru perlu melakukan perubahan dalam mengajar. Guru hendaknya lebih
kreatif dan inovatif dalam penggunaan metode maupun media pembelajaran
berbicara khususnya bercerita. Dengan demikian siswa akan mempunyai pengalaman
belajar yang bermakna.
Melihat fenomena permasalahan di atas,
kiranya perlu dilakukan terobosan baru dalam pembelajaran keterampilan
berbicara khususnya bercerita. Pembelajaran bahasa hendaknya dilaksanakan
dengan efektif sehingga dapat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar
siswa. Bercerita merupakan salah satu pembelajaran bahasa yang perlu dilakukan
secara efektif. Menghadirkan media dalam pembelajaran sangat diperlukan untuk
membantu siswa dalam belajar.
Salah satu cara untuk membantu guru dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran adalah dengan penggunaan media pembelajaran.
Media pembelajaran menurut Aqib (2013: 50) adalah segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk menyalurkan pesan dan merangsang terjadinya proses belajar pada
si pembelajar (siswa). Media digunakan untuk membantu terciptanya pembelajaran
yang baik.
Media pembelajaran keterampilan bercerita
salah satunya adalah dengan menggunakan Pop
Up Book. Pop Up Book menurut Taylor dan Bluemel (2003: vol. 22) adalah “mechanical, movable books, [that] unfold
and rise from the page to our surprice and delight. ” Menurut Taylor dan
Bluemel Pop Up Book adalah
konstruksi, pergerakan buku yang muncul dari halaman yang membuat kita terkejut
dan menyenangkan. Pop Up Book identik
dengan anak-anak dan mainan, namun benda ini dapat digunakan menjadi media
pembelajaran yang baik. Media ini berisi cerita bergambar yang memiliki bentuk
tiga dimensi ketika halaman buku dibuka. Penggunaan media ini dalam
pembelajaran dapat digunakan pada bidang kebahasaan yaitu peningkatan
keterampilan-keterampilan dasar berbahasa.
Kelebihan dari media Pop Up Book adalah memberikan pengalaman khusus pada pembaca karena
melibatkan pembaca dalam cerita tersebut seperti menggeser, membuka, dan
melipat bagian Pop Up Book. Hal ini
akan membuat kesan tersendiri kepada pembaca sehingga akan lebih mudah masuk
kedalam ingatan ketika menggunakan media ini.
“Adding movement conributes yet another way for readers and non-readers
to learn and enjoy. Hands-on and kinetic, movable and pop-up books combine
hands and eyes, action and reaction, discovery and wonder” (Van
Dyk, 2010: 5). Dengan lebih banyak kegiatan menarik dan memacu daya ingat
diharapkan dapat dijadikan bahan dan inovasi siswa dalam berbicara, khususnya
mengenai suatu cerita yang telah disampaikan oleh seseorang.
Kegiatan bercerita dalam proses pembelajaran
yang dianjurkan oleh Depdiknas (1990: 19) diklasifikasikan menjadi lima. Kelima
kegiatan bercerita tersebut adalah bercerita tanpa alat bantu, bercerita
mengunakan alat, bercerita dengan gambar, bercerita menggunakan papan flanel,
membacakan cerita. Bercerita dengan gambar dapat dilakukan dengan media gambar
untuk menggambarkan ceritanya. Gambar yang digunakan oleh pencerita bisa
berbentuk dua dimensi maupun tiga dimensi. Jenis gambar tersebut diantaranya
gambar bersusun, kumpulan gambar-gambar, dan gambar-gambar yang bisa muncul dan
keluar seperti gambar nyata atau biasa disebut dengan Pop Up Book.
Nurgiyantoro (2010: 401-411) mengemukakan
bahwa ada banyak teknik yang dapat diberikan kepada peserta didik dalam
kemampuan berbicara bahasa target antara lain: berbicara berdasarkan gambar,
berbicara berdasarkan rangsangan suara, berbicara berdasarkan rangsang visual
dan suara, bercerita, dan wawancara. Berbicara berdasarkan gambar dapat
dijadikan rangsangan pembicara yang baik. Rangsangan yang berupa gambar sangat
baik untuk dipergunakan anak-anak usia sekolah dasar. Nurgiyantoro (2010: 402)
menambahkan bahwa rangsangan gambar yang dapat dipakai sebagai rangsangan
berbicara dikelompokkan ke dalam gambar objek dan gambar bercerita. Gambar
objek adalah gamar yang masing-masing memiliki nama satu kata dan merupakan
gambar-gambar lepas yang antara satu dengan yang lain kurang ada kaitannya.
Sedangkan gambar cerita merupakan rangkaian gambar yang membentuk sebuah
cerita. Gambar bercerita ini seperti buku gambar tanpa kata atau pop up book yaitu buku-buku gambar
cerita yang alur ceritanya disajikan lewat gambar-gambar, atau gambar-gambar
itu sendiri menghadirkan cerita.
Media pop
up book dipilih untuk pelaksanan proses pembelajaran keterampilan bercerita
karena media tersebut sangat menarik. Pembelajaran tersebut memudahkan siswa
untuk bercerita karena distimulus oleh media pop up book. Siswa lebih percaya diri karena cerita ditampilkan
secara berkelompok sehingga siswa yang sulit bercerita akan termotivasi oleh
penampilan siswa lain yang pandai bercerita.
Pemilihan media pop up book untuk meningkatkan keterampilan bercerita karena media
ini merupakan media yang efektif untuk pengajaran dalam mengembangkan
perbendaharaan kata, melatih diri untuk mendengarkan dan berbicara.
Mardiah (2017: 78) mengemukakan bahwa media pop up book memiliki kelebihan-kelebihan
seperti (1) dapat mengatasi batasan ruang, waktu, dan pengamatan karena tidak
semua benda, objek atau peristiwa dapat dibawa ke dalam kelas. (2) bersifat
konkret, yaitu lebih realistis dibandingkan media verbal, (3) dapat menjadi
sumber belajar untuk semua usia, (4) memiliki ruang-ruang dimensi dimana buku
ini bisa berbentuk struktur 3 dimensi sehingga menarik untuk dibaca.
Bluemel dan Taylor (2003: 22) menambahkan
bahwa pop up book adalah buku yang
pergerakannya muncul dari halaman yang dibuka dan memberikan efek terkejut
serta menyenangkan. Bluemel dan Taylor
(2012: 5) mendefinisikan buku pop up adalah
“Pop up book is a book that offers the
potential for motion and interaction through the use of paper mechanisme such
as folds, slides, tabs or wheels”. Menurutnya, buku pop up memiliki sifat yang komunikatif interaktif, menarik, dan
informatif sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh
sasaran.
Penelitian dengan menggunakan pop up book sebelumnya sudah pernah
dilakukan oleh beberapa peneliti. Namun sebagian besar dari penelitian tersebut
adalah mengembangkan medianya. Selain itu para penelita yang menggunanak media pop up book untuk meningkatkan suatu
hasil belajar bukan mata pelajaran bahasa Indonesia.
Melihat berbagai permasalahan tentang
keterampilan bercerita siswa kelas 4 SD Manding Tengah, maka guru perlu
melakukan terobosan dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran dengan media
Pop Up Book merupakan salah satu
alternatif meningkatkan keterampilan
bercerita. Penelitian dengan media pop up
book untuk meningkatkan keterampilan bercerita siswa juga belum pernah
dilakukan di SD Manding Tengah. Keterampilan bercerita yang rendah memberikan
dampah terhadap rendahnya hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan suasana
pembelajaran yang monoton, membosankan dan kurang bermakna. Untuk meningkatkan
keterampilan bercerita siswa, maka perlu dilakukan tindakan pembelajaran dengan
menggunakan media pop up book pada
keterampilan bercerita.
1. Langkah-langkah
Pembelajaran Bercerita dengan Media Pop
Up Book
Pembelajaran keterampilan bercerita dengan media Pop Up Book dapat memberikan pengalaman
belajar yang menyengkan. Di samping hal tersebut media Pop Up Book efektif untuk mengembangkan keterampilan bercerita
anak. Oleh karena itu dalam mengemas pembelajaran hendaknya guru mempersiapkan
terlebih dahulu skenario ataupun langkah-langhkah pembelajaran. Dengan
menyiapkan langkah-langkah pembelajaran maka akan lebih bermakna dan dapat
menumbuhkan keterampilan bercerita pada siswa.
Petunjuk atau langkah-langkah penggunaan media Pop Up Book menurut Sadiman dalam Fitri
(2018: 45) terdapat tiga tahapan, yaitu persiapan sebelum menggunakan media Pop Up Book, kegiatan selama menggunakan
media Pop Up Book, dan kegiatan
tindak lanjut. Adapun ketiga tahapan dalam penggunan media Pop Up Book akan diuraikan dibawah ini.
a)
Persiapan
sebelum menggunakan media Pop Up Book
Tahap ini perlu adanya persiapan yang perlu dilakukan
yang menunjang penggunaan media berjalan dengan lancar yaitu mempelajari
petunjuk tata cara menggunakan media Pop
Up Book, perlu mempersiapkan peralatan media yang akan digunakan dalam
kegiatan proses belajar. Aadapun kegiatannya adalah sebagai berikut.
1)
Guru
mempersiapkan peralatan dan media Pop Up
Book yang akan digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar khususnya
pada keterampilan bercerita.
2)
Guru
mempelajari tata cara penggunaan media Pop
Up Book sehingga guru mampu menjelaskan terhadap siswa tata cara
menggunakan media Pop Up Book
b)
Kegiatan
selama menggunakan media Pop Up Book
Tahap ini perlu adanya ruangan yang nyaman
dan tenang, sehingga dalam proses kegiatan belajar siswa tidak mengalami gangguan
yang dapat mengganggu perhatian dan konsentrasinya. Adapun langkah-langkah
penggunaan media Pop Up Book dalam
pembelajaran keterampilan bercerita pada tahap ini adala sebagai berikut.
1)
Guru
mempersiapkan ruangan yang nyaman untuk proses kegiatan belajar mengajar.
2)
Guru
menjelaskan tentang tujuan belajar, yaitu siswa dapat menceritakan berdasarkan Pop Up Book
3)
Siswa
diminta menyimak dan memperhatikan petunjuk dan perintah guru, sehingga siswa
dapat memahami materi
4)
Guru
menjelaskan cara menggunakan media Pop Up
Book
5)
Guru
membuka media Pop Up Book dan
menunjukkan gambar-gambar yang mewakili sebuah cerita.
6)
Guru
memperkenalkan siswa gambar-gambar yang terdapat pada media Pop Up Book.
7)
Siswa
diminta mengamati gambar-gambar dan cerita dari guru.
c)
Kegiatan
tindak lanjut
Tahap ini digunakan untuk menjajagi apakah
tujuan telah tercapai, dan memantapkan pemahaman terhadap materi yang telah
disampaikan melalui media Pop Up Book
dan memberikan evaluasi terhadap hasil belajar. Adapun kegiatan tindak lanjut
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.
1)
Guru
memberikan pengayakan terhadap siswa tentang materi pembelajaran yang telah
diberikan sebelumnya.
2)
Guru
mengulang kembali pembelajaran tentang keterampilan bercerita.
Langkah-langkah di
atas merupakan penggunaan media dalam pembelajaran yang dikemukakan oleh
Sadiman. Pada penelitian ini langkah-langkah yang digunakan merupakan
modifikasi dari langkah-langkah Sandiman dan Peneliti. Berikut langkah-langkah
yang telah dimodifikasi peneliti untuk pembelajaran menggunakan media Pop Up Book pada keterampilan bercerita.
a)
Tahap
persiapan
1)
Guru
membentuk kelompok-kelompok kecil dalam kelas yang terdiri atas 5-6 siswa,
2)
Guru
meminta siswa duduk berkelompok dengan posisi duduk melingkar,
3)
Guru
memberikan buku Pop Up Book kepada
masing-masing kelompok,
4)
Guru
memberikan arahan jalannya pembelajaran
b)
Tahap
pelaksanaan
1)
Guru
membacakan judul buku Pop Up Book
kepada siswa
2)
Guru
meminta siswa untuk membacakan tujuan pembelajaran
3)
Siswa
mengamati materi yang terdapat di dalam Pop
Up Book berdasarkan perintah guru
4)
Guru
mengoreksi ujaran siswa dengan baik dan benar
c)
Tahap
penyelesaian
1)
Siswa dalam
kelompok kecil melakukan latihan bercerita berdasarkan gambar-gambar Pop Up yang ada dibuku.
2)
Siwa
secara bergantian dihadapan teman sekelompoknya melakukan bercerita sesuai
bagiannya pada bacaan Pop Up,
3)
Guru
memberikan skor kepada masing-masing kelompok.
Tahapan-tahapan
bercerita dengan media Pop Up Book di
atas merupakan tahapan modifikasi menurut ahli dan peneliti yang disesuaikan
dengan kondisi dan karakter siswa kelas IV SD Manding Tengah. Tahapan bercerita
dengan media Pop Up Book tersebut
yang digunakan pelaksanaan pembelajaran.
2. Teori
Belajar yang Melandasi Penggunaan Media Pop
Up Book
Sebelum merancang
pembelajaran, seorang guru harus menguasai sejumlah teori atau filsafat tentang
belajar, termasuk beberapa pendekatan dalam pembelajaran. Penguasaan teori itu
dimaksudkan agar guru mampu mempertanggungjawabkan secara ilmiah perilaku
mengajarnya di depan kelas.
Pemahaman mengenai
teori belajar sebagai landasan dalam proses pemanfaatan media pembelajaran pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui.
Teori belajar merupakan landasan pokok dalam menyusun desain, dengan
memanfaatkan media, dan melaksanakan pembelajaran. Dengan memahami beberapa
teori belajar, maka teori tersebut dapat dimanfaatkan untuk mensistemasikan
penemuan-penemuan, memprediksi, malahirkan hipotesis-hipotesis dan dapat
memberikan penjelasan sesuai dengan yang dibutuhkan.
Menurut Schunk
(2007: 57), behaviorisme adalah suatu pandangan mengenai perilaku belajar yang
intinya menekankan pada peniruan model. Titik pusat kegiatannya yaitu pada
proses pemantapan latihan untuk membentuk kebiasaan.
Menurut pandangan
kaum behavioris bahwa suatu kebiasaan terbentuk manakala suatu jawaban (response) terhadap ransangan (stimulus) secara konsisten diberikan
penghargaan (reward) (Schunk, 2007 :
57). Dengan kata lain, suatu perilaku akan muncul apabila didahului oleh
stimulus, dan dapat diperkuat, dibiasakan, dengan memberi penguatan (reinforcement). Dengan demikian, teori
behavioristik secara prosedur meliputi tiga tahap, yaitu stimulus, response,
dan reinforcement, yang dalam psikologi behaviorisme disebut pembiasaan yang
membuahkan hasil (operant conditioning).
Menurut
Iskandarwarsid & Sunendar (2010: 47), dalam teori behaviorisme proses
belajar sangat bergantung kepada faktor yang berada diluar dirinyan, sehingga
ia memerlukan stimulus dari pengajarnya. Masih menurut teori behaviourisme
bahwa hasil belajar banyak ditentukan oleh proses peniruan, pengulangan, dan
penguatan (reinforcement). Belajar harus melalui tahap-tahap tertentu, sedikit demi
sedikit, yang mudah mendahului yang sulit.
Behaviourisme yang
dikembangkan oleh Pavlov berangkat dari pemahaman bahwa stimulus yang dapat
dilihat juga dapat menyebabkan adanya respons yang dapat dilihat (Djuanda,
2006: 7). Stimulus yang bermakna dapat
menghasilkan respons yang bermakna pula. Untuk memperoleh respons yang bermakna
diperlukan kondisi tertentu. Pemberian kondisi tersebut perlu memperhitungkan
kesesuaian antara stimulus dengan gambaran pembiasaan yang dihasilkan, stimulus
lain yang ikut memberntuk karakteristik responsi, dan frekuensi pemberian
stimulus yang diberikan.
Berdasarkan
landasan teori tersebut, Skinner (dalam Schunk 2007 : 58) menyimpulkan bahwa
tugas para pembelajar harus diatur sedemikian rupa sehingga mereka memiliki
peluang yang besar untuk memberi respons yang benar. Oleh karena itu, fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi sangat tepat untuk memaknai adanya stimulus dan respons dalam
berbahasa.
Hal senada
diungkapkan oleh Iskandarwarssid & Sunendar (2010: 240) bahwa strategi pembelajaran
berbicara merujuk pada prinsip stimulus-respon.
Selama kedua variabel ini dikuasai oleh pembicara, maka ia dapat dikategorikan
memiliki kemampuan berbicara. Perkembangan pembelajaran berbicara masih
mempertahankan pola stimulus-respons meskipun dengan modifikasi model yang
variatif.
Dengan demikian,
belajar melibatkan terbentuknya hubungan-hubungan tertentu antara stimulus dan
respons. Stimulus merupakan penyebab belajar, agen-agen lingkungan yang
bertindak terhadap suatu organisme, yang menyebabkan organisme itu memberikan
respons tertentu. Sementara itu, respons merupakan akibat atau efek yang
merupakan reaksi-reaksi fisik suatu organisme terhadap stimulus, baik stimulus
eksternal maupun stimulus internal.
Keterampilan
bercerita merupakan bagian dari pembelajaran berbahasa. Dengan menggunakan
landasan teori behaviouristik tugas para pembelajar harus diatur sedemikian
rupa sehingga mereka memiliki peluang yang besar untuk memberi respons yang
benar. Dengan memberikan stimulus pembelajaran yang menarik khususnya dalam
keterampilan bercerita maka siswa akan merespon materi tersebut dengan baik.
Sebagai seorang
guru yang profesional hendaknya kita mempersiapkan dan mengemas pelajaran tersebut sedemikian rupa sehingga
siswa akan menangkap materi tersebut dengan mudah dan ada perasaan senang dalam
belajar. Salah satu cara menstimulus siswa dalam pembelajaran keterampilan
bercerita adalah dengan menggunakan media Pop
Up Book. Penggunaan media Pop Up Book
ini akan memberikan stimulus pengalaman belajar yang menyenangkan dan efektif
dalam mengembangkan keterampilan bercerita bagi anak usia sekolah dasar.
Pembelajaran
tersebut dikatakan efektif karena dengan pemberian stimulus berupa media Pop Up Book akan tercipta suatu
pembelajaran dengan suasana belajar yang kondusif dan komunikatif. Dengan
demikian akan cepat direspon oleh siswa sehingga tercipta suasana yang
menyenangkan dan mampu mencapai tujuan dalam proses belajar mengajar tersebut.
Keterampilan bercerita dengan
menggunakan Pop Up Book memberikan
kesempatan kepada anak-anak untuk berbagai gagasan dan cerita lewat percakapan,
disertai dengan mengembangkan imajinasi siswa melalui gambar-gambar tiga
dimensi yang ada pada Pop Up Book.
Media Pop Up Book merupakan stimulus yang
efektif untuk pengajaran dalam mengembangkan perbendaharaan kata, melatih diri
untuk mendengarkan dan bercerita. Media
tersebut akan merespon anak dengan lebih perhatian terhadap isi cerita. Dengan
penggunaan media tersebut, pesan akan menarik perhatian siswa. Dengan demikian,
Pop Up Book merupakan bagian dari
media pembelajaran bahasa yang salah satunya bermanfaat sebagai sarana atau
alat bantu peningkatan keterampilan bercerita.
Komentar
Posting Komentar